Rabu, 13 Januari 2021

"Ia tenggelam bersama orang-orang yang tenggelam.."

Kenalkah kita dengan seseorang yang Allah berikan kesempatan berbeda dengan ulama lainnya?

Ia tidak banyak bersafar untuk menuntut ilmu,  sebagaimana ulama-ulama besar lainnya. Tapi Allah karuniakan kepadanya kecerdasan dan kesucian hati. Ia hanya belajar di daerah Qasim tanah kelahirannya,  serta menamatkan hafalan al quran di hadapan sang kakek. Kemudian berguru dengan ulama di kotanya, seperti Syeikh Abdurrahman bin Nashir as Sa'di dan murid-muridnya semenjak kecil. Memulai pendidikan dengan belajar akidah dan ilmu-ilmu lainnya hingga kemudian Ia tumbuh  menjadi ulama besar yang sampai hari ini walaupun telah tiada,  Allah berikan keberkahan besar pada dirinya dan juga ilmunya.  Kita bisa lihat berapa banyak  kitab-kitab yang beliau tinggalkan kemudian dibaca dan dijadikan rujukan di seluruh penjuru dunia. Belum lagi fatwa-fatwanya banyak diambil oleh para ulama dan thalabul 'ilm hari ini. Beliau seseorang yang memilih menjadi ulama saja tanpa menjabat sebagai hakim, karena khawatir menjadi lemah akan jabatan itu. 

Tahukah kita siapa beliau?
Beliau, adalah ulama umat ini,  guru dari para ulama-ulama hari ini. Sampai dikatakan,  bahwa muridnya terlalu banyak bila disebutkan satu persatu. Tapi coba kita tanyakan kepada ulama-ulama yang masih hidup sampai hari ini "siapa guru mereka?" Maka kebanyakan dari mereka akan menjawab salah satu guru mereka adalah beliau. 
Siapakah beliau?
Beliau adalah Syeikh Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al Utsaimin -rahimahullahu ta'aala-. 
Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari biografi kehidupannya. 
Dan salah satu hal yang menggugah hati ini adalah, ketika mengetahui bahwa beliau hanya menuntut ilmu dari "orang-orang di sekitarnya. Ya, memanfaatkan keterbatasan dan tetap bersemangat dalam menuntut ilmu."
Ia belum diberikan kesempatan seperti ulama besar lainnya untuk bersafar menuntut ilmu ke penjuru negeri, ia tidak diberi kesempatan safar ke Damaskus atau ke Baghdad atau ke kota-kota lainnya yang pada saat itu terdapat banyak ulama-ulama besar hidup di sana. Beliau hanya memanfaatkan guru-guru yang Allah berikan di sekitarnya. 

Dan Inilah yang seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi kita.
Kita yang suka berkhayal,  "Ana ingin kuliah di kota A karena itu adalah kotanya para ulama." 
Atau "kalau ana gak masuk universitas B ana gak mau kuliah."  
Atau "ah, Ana gak mau masuk kuliah itu,  letaknya di Indonesia. Gak sebagus universitas-universitas timur tengah lainnya." 

Wahai diri,
Kalau seandainya engkau diberi kesempatan melanjutkan pendidikan ke tempat-tempat terbaik maka itu adalah nikmat yang patut disyukuri, Alhamdulillah Allah memberikanmu kesempatan yang luar biasa, jangan pernah kau sia-siakan. Karena engkau akan menemukan dirimu dekat dengan tempat tinggalnya para ulama.
Tapi apakah mereka yang belum mendapat kesempatan sepertimu termasuk dari orang-orang yang terbelakang? Apakah universitas atau halaqah-halaqah ustadz-ustadz kita di dalam negeri ini menjadikan mereka lebih sedikit mendapatkan ilmu?
Jawabannya adalah belum tentu. Lihatlah bagaimana syeikh utsaimin,  dengan keterbatasan yang ia miliki, tak membuatnya sedikit mendapatkan ilmu.  Justru sebaliknya,  dengan izin Allah dan fadhlillah beliau menjadi salah satu ulama yang kitab dan fatwanya banyak menjadi rujukan ulama-ulama hari ini. Maka sungguh yang dibutuhkan bukan hanya soal tempat yang bagus, namun yang lebih utama adalah kecerdasan dan kesucian hati yang perlu dipertebal.   Rabb kita telah berfirman bahwa :
(ذَ ٰ⁠لِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ یُؤۡتِیهِ مَن یَشَاۤءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِیمِ)
"Demikianlah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memiliki karunia yang besar." [Surat Al-Jumu'ah 4]

Kalau kita ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, maka mintalah itu semua kepada Allah. Karena yang kita butuhkan adalah fadlullah (karunia Allah), yang kita butuhkan adalah keridhaan Allah atas ilmu kita. Sehingga kelak ilmu itu bisa menjadi keberkahan bagi diri kita bahkan orang lain.
Syeikh utsaimin dengan segala keterbatasannya diceritakan bahwa beliau senantiasa berdoa kepada Allah,  belajar dengan tekun,  beradab terhadap ilmu,  dan mengikhlaskan niatnya hanya mengharap ridha Allah. Maka Allah angkat derajat beliau dan ilmu beliau di dunia ini. Lihatlah, bukankah ini adalah fadhlullah yang Allah berikan kepada siapa yang ia kehendaki ? 

Sayangnya, pada hari ini, betapa banyak kita mendapati penuntut ilmu-penuntut ilmu yang diberikan kesempatan safar (melakukan perjalanan jauh) demi memperoleh ilmu, justru mereka sia-siakan kesempatan berharga itu. Mereka justru sibuk dengan derajat di dunia,  mencari kekayaan, mencari kemasyhuran, terjerembab kepada kesenangan dunia hingga mereka lupa tujuan awal mereka adalah untuk "menuntut ilmu".
Sehingga ketika mereka kembali ke negerinya, "mereka tenggelam bersama orang-orang yang tenggelam". Tidak bisa membagi ilmunya dengan orang lain,  dan gelar yang ia miliki hanya sekedar sematan di akhir namanya. Tapi ilmunya,  tak bisa diwariskan kepada orang-orang yang sesungguhnya sudah menunggu kepulangannya. 

Inilah fenomenanya wahai penuntut ilmu..
Apa yang kita kerjakan di saat menuntut ilmu hari ini, kelak akan terlihat hasilnya di masa yang akan datang. 
Mereka yang senantiasa mendengarkan guru,  menghafal ilmu,  mengulang ilmu,  mengamalkan ilmu,  mengikhlaskan niat hanya mengharap ridha Allah maka akan terlahir dengan keberkahan ilmu pada dirinya. 
Tapi mereka yang lebih sering mengabaikan ilmu bahkan meremehkan guru,  malas menghafal,  abai dalam mengulang pelajaran,  abai dalam mengamalkan ilmu,  lebih senang hangout dengan teman-temannya di mall dibandingkan duduk di majelis ilmu,  kemudian tersibukan dengan hal duniawi lainnya,  maka sungguh mereka hanya akan sekedar tenggelam bersama mereka-mereka yang tenggelam. Beberapa tahun merantau dengan niat menuntut ilmu, justru sia-sia  karena dirinya sendiri yang menyia nyiakan. 

Maka ini peringatan untuk diriku,  dan untuk siapapun yang tengah berthalabul 'ilm. 
Apa yang kita tanam hari ini,  kelak akan menjadi buah yang akan kita petik kemudian.
Seandainya dari proses menanamnya saja sudah "kurang niat" atau "malas-malasan",  yakinkah kita bahwa ia akan tumbuh menjadi buah-buah yang berkualitas?
Apa jadinya bila kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang baik disia-siakan begitu saja?
Apa jadinya bila kesempatan untuk menuntut ilmu di negeri sebrang di sia-siakan begitu saja?
Sudah mengeluarkan harta yang banyak, waktu yang banyak, kemudian harus merantau jauh dari orangtua dan keluarga. Lalu ketika kembali  justru ia dan ilmunya tenggelam bersama orang-orang yang tenggelam.
Sungguh relakah kita tenggelam bersama mereka yang tenggalam?
Naudzubillah min dzaalik.

Kita memohon kepada Allah agar senantiasa menjadikan kita termasuk dari orang-orang yang ia kehendaki mendapatkan keberkahan pada ilmu dan juga amalan kita. 

Wallahu A'lam Bis Shawwab.
29 Oktober 2020
Sebuah hikmah yang di tulis dari muqoddimah mulaazamah kitab al qawaidul mutsla fii Asmaaillahi wa sifaatillahil 'ulyaa li Syeikh Utsaimin hafidzhahullahu ta'aala bersama Al Ustadz Abdullah Roy hafidzhahullahu Ta'aala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar