Jumat, 08 Desember 2023

Mengapa Harus Beramal?

 

Setiap orang yang beriman, meyakini bahwa Agama Islam dibangun atas enam pondasi Rukun Iman. Di antaranya adalah:

1. Iman kepada Allah

2. Iman kepada Malaikat

3. Iman kepada Kitab-Kitab

4. Iman kepada Para Rasul

5. Iman kepada Hari Akhir

6. Iman kepada Takdir yang Baik dan yang Buruk

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 177:

﴿لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ﴾

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-Malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi.” 

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Qamar ayat 49:

﴿إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ﴾

“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir-takdir.” 

Maka orang yang beriman kepada takdir meyakni bahwa ketika Allah menciptakan alam semesta. Juga meyakini bahwa Allah mencatat siapa saja yang akan menjadi penghuni surga maupun penghuni neraka. Tidak akan ada perubahan sama sekali dalam catatan tersebut. Tidak ada seorang pun yang mengetahui dirinya akan menjadi penghuni neraka atau penghuni surga. 

Lantas, mengapa harus beramal jika kita tahu akan menjadi penghuni neraka? 

Jawabannya adalah, karena kita tidak tahu akan menjadi penghuni neraka atau surga. 

Maka hendaklah setiap insan senantiasa beramal.

Rasulullah bersabda: "Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (HR. Bukhari)


Merenunglah, Sungguh kau tak perlu sakit hati dengan ucapannya:)

 Ada sosok perempuan yang begitu baik hati, selalu jujur perkataannya, selalu mendukung kebaikan nasehatnya.

Tapi diri ini sering sekali menjadi diam dan menangis karena nasehatnya. Bukan, sungguh bukan karena sakit hati.

Tapi lebih kepada, “sadar diri”. Bahwa tiap nasehatnya benar, dan setiap kelalaian diri adalah salah. 

Lebih kepada, “diam untuk merenung dan berpikir” setelah sekian lama, terlalu percaya diri akan kebaikan diri (innaalillahi).

Tapi manusia, akan tetap menjadi manusia. Punya rasa “gundah” sebelum rasa “menerima”. Punya rasa “sempit hati” sebelum “hati yang luas”.

Namun lagi-lagi sikap dan tanggapan membangun sebuah presepsi , bahwa diri ini membenci setiap ucapannya. Sungguh tidak pernah ada rasa benci itu. Karena hanya orang tak berakal yang marah karena “kebaikan yang diharapkan untuk dirinya”.

Tulisan ini untukku yang menulis. Agar aku tak lupa dan tak bersembunyi di dalam kata “terluka”. Karena sesungguhnya tidak ada luka apapun. 


Untukku dan untukmu pengajar,

[Sebuah Wasiat]

وصية عتبة بن أبي سفيان لمؤدب ولده:

Wasiat Utbah Bin Abi Sufyan kepada Pengajar Anaknya:

قال عتبة بن أبي سفيان لعبد الصمد مؤدب ولده:

Telah berkata Utbah Bin Abi Sufyan Kepada Abdusshomad (Pengajar anaknya):

ليكن أول ما تبدأ به من إصلاحك بَنِيَّ إصلاحك نفسك..

Langkah pertama yang hendaknya engkau lakukan dalam mendidik anakku adalah *perbaiki dulu diri (engkau)*..

فإن أعينهم معقودة بعينك،

Karena *semua mata mereka akan selalu tertuju kepada engkau*,

فالحسن عندهم ما استحسنت،

*Hal yang baik menurut mereka adalah yang engkau lakukan*,

والقبيح عندهم ما استقبحت.

 Dan *hal jelek menurut mereka adalah apa yang engkau tinggalkan*

علِّمْهم كتاب الله، 

Ajarkanlah mereka (anak didikmu) *Al-Quran*,

ولا تكرههم عليه فيَمَلُّوه، 

Tapi jangan paksa mereka (dengan berlebihan) sehingga menyebabkan *mereka bosan*,

ولا تتركهم منه فيهجروه.

Tapi jangan juga membiarkan mereka sehingga mereka *meninggalkan Al-Quran*.”


[Kitab Al-Bayan wa-Tibyan dan Kitab yang lainya] www.alukah.net/social/0/79548/#ixzz4YxbGY89D


Pelajaran yang bisa kita ambil dari perkataan ini:

  1. Kita adalah qudwah hasanah bagi anak didik kita.
  2. Anak didik kita melakukan apa-apa yang kita lakukan, karena mereka memandang apa yang kita lakukan adalah hal baik. Maka kita harus menghisab diri kita, apakah setiap perbuatan kita sudah baik hingga pantas untuk dicontoh oleh anak-anak?
  3. Anak didik kita meninggalkan apa-apa yang kita tinggalkan, karena mereka memandang apa yang kita tinggalkan adalah hal buruk. Maka kita harus menghisab diri kita, apakah setiap perbuatan buruk sudah kita tinggalkan sehingga anak-anak pun bergerak meninggalkannya?
  4. Jadilah pengajar Al-Quran yang membuat anak-anak membaca dan menghafal Al Quran dengan nikmat. Cari banyak metode untuk mengajarkan Al-Quran pada mereka agar tidak cepat bosan.
  5. Jadilah pengajar Al-Quran yang berprinsip, tidak bermudah-mudah dalam mengajarkan Al-Quran sehingga anak-anak menyepelekannya. 


Wallahu A’lam Bisshawwab